“Oom, uching na ‘agi taatiit yaa, Oom??” Begitulah keponakan saya bertanya ketika dia melihat seekor kucing yang sedang sakit dan nyaris mati. Apa sebab? Sepele, Uching terjebak di kotak sampah yang tertutup sampai ia kehabisan udara. Petugas kebersihan yang membuka kotak besi itu mengeluarkannya dalam kondisi tak berdaya. Uching tidak lagi segesit kemarin, juga tidak seceria sebelum hal naas menimpanya. Bukan hanya fisik, jiwanyapun sakit. Tidak ada lagi pengharapan dari Uching, dan tidak kepada siapapun Uching minta tolong. Sekedar mengeongpun tidak . . . Lemas, lalu mati !!
Lain kisah dengan Viktor Frankl, seorang Psikiater Wina asal Yahudi dan taat pada Tuhan yang menjadi korban kamp konsentrasi Hitler. Keluarga dan sanak saudaranya tewas mengenaskan. Menurut Frankl, hidup ini tetap memiliki makna sekalipun dalam suatu penderitaan yang berat. Jadi, dalam penderitaannya di “kamar gas” Auschwitz, ia berusaha menemukan “pegangan hidup“ berupa keyakinan dan pengharapan agar hidupnya tetap memiliki makna. Makna hidup itulah yang menjadikannya punya alasan untuk bertahan. Dari perjalanan hidupnya inilah ia menelurkan
teori Makna Hidup, satu – satunya teori Psikologi yang mengakui adanya dimensi spirit (roh) dalam diri manusia.
Sekalipun tubuh kita sedang tidak sehat, tetapi kalau jiwa kita sehat, maka roh kita akan sehat juga. Hidup kita bermakna karena kita memiliki pegangan hidup, Sang Juru S’lamat yang membuat kita bertahan melewati badai hidup, yang membuat kita sehat tubuh, jiwa, dan roh.
0 komentar:
Posting Komentar